ANAK, LEMBAR BURAM YANG TERBUANG

Korban Kedewasaan

Ibarat sebuah kertas yang polos. Ya, itulah anak. Dengan segala keluguan dan kelucuannya, anak tetaplah anak. Mereka hidup dalam dunia anak, berpikir, bermain dan melakukan apa saja dengan dunia anak. Tertawa, menangis, tersenyum, merengek dan apapun itu. Ya, anak tetaplah anak.

Keegoan mereka sangat kuat, terlalu kuat bahkan untuk diruntuhkan. Mereka akan mempertahankan keyakinan mereka dengan segenap kemampuan mereka. Jika perlu, mereka akan menangis untuk mempertahankan pendapat mereka. Tengok saja seorang anak yang bermain. Jika ia sedang duduk di sebuah bangku panjang, dengan lagak dan gayanya ia menirukan suara motor yang ngebut. Jika ditanya apa yang sedang ia lakukan, dengan pasti ia akan menjawab: naik motor. Ia akan marah jika Anda mengatakan bahwa ia hanyalah duduk di sebuah bangku panjang. Bahkan jika Anda tetap ngotot pada pendirian Anda, ia akan semakin kencang melawan. Menangis bahkan jika perlu.

Ya, itulah dunia anak. Dunia yang penuh dengan kepolosan dan keceriaan. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu tentang kedewasaan. Kedewasaan tidak akan pernah ada dalam kamus mereka. Kedewasaan yang diagung-agungkan oleh mereka yang menganggap diri mereka dewasa. Kedewasaan yang terlalu ditonjolkan oleh mereka yang menganggap dirinya telah dewasa. Kedewasaan yang pada nyatanya telah merenggut kepolosan dan keluguan anak.

Tengok saja dinegara yang maju seperti Jepang. Dunia anak seakan tidak ada lagi. Yang ada hanya tuntutan orang tua yang menghendaki agar anak tampil prima di sekolah. Tampil dengan membanggakan di dunia pendidikannya. Tidak salah memang, namun cara yang diterapkan orang dewasa telah merenggut masa emas mereka sebagai anak. Anak yang seharusnya tertawa dan menangis kala bermain, kini harus tinggal di rumah dengan sebuah lap top di depannya. Mereka lebih akrab dengan komputer daripada dengan teman sebayanya. Sungguh ironis.

Bagaimana dengan Indonesia? Hampir tidak jauh berbeda. Lebih mengenaskan malah. Anak menjadi komoditas yang menjanjikan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Dengan embel-embel segala macam, nyatanya anak dijadikan unsur dalam bisnis. Tengok saja acara TV show yang menampilkan anak-anak dalam persaingannya memperoleh rating tinggi agar mereka tidak dieliminasi. Bagus memang, agar mereka merasakan nuansa kompetisi sejak dini. Namun tingkat kompetisi yang dirasakan terlalu berat bagi anak. Tingkat kompetisi yang semestinya menjadi konsumsi orang dewasa, nyatanya telah dijejalkan ke dalam dunia anak. Anak masa kini bukanlah anak dalam arti yang sebenarnya. Mereka adalah anak yang dewasa.

Di lingkungan masyarakat, anak dijadikan korban atas kebanggaan orang tuanya. Dengan dalih agar anak meraih prestasi, anak harus belajar dan belajar. Hampir tidak ada waktu luang bagi mereka untuk mengekspresikan diri mereka dalam permainan dengan teman sebayanya. Padahal, bermain adalah dunia anak. Bermain itu penting bagi anak. Dengan bermain, maka anak akan belajar bersosialisasi. Anak akan belajar berinteraksi dengan lingkungannya, mengenal dan memahami sesuatunya dengan caranya; bermain. Merasakan dunia dengan caranya; bermain.

 

Pemahaman terhadap Anak

Anak bukanlah obyek. Mereka adalah subyek yang aktif dan kritis menyikapi masalah disekitar mereka. Mereka akan banyak bertanya ini dan itu untuk menuntaskan rasa keingin tahuan mereka. Mereka butuh jawaban atas rasa penasaran mereka. Dan itu harus terpenuhi.

Sulit memang memahami dunia anak. Tetapi bukankah kita telah melewati masa itu? Hal tersebut bisa kita jadikan acuan untuk memahami anak. Bisa kita jadikan dasar untuk bergaul dengan anak tanpa harus kekanak-kanakan. Menjadi “anak” untuk bergaul dengan anak. Tentu saja tanpa harus menjadikan mereka dewasa lebih awal.

Jika kita melihat seorang anak bermain dengan rekannya, coba kita dengarkan. Simak apa yang mereka perbincangkan. Mari renungkan jika kita memang punya cukup waktu luang untuk itu. Kita akan merasakan banyak kelucuan disana. Polos, apa adanya. Tanpa topeng!! Ceplas-ceplos dan terkesan cuek. Anak enak saja berbicara tentang ini dan itu. Enak saja mereka tertawa tanpa beban sementara orang dewasa puyeng karena BBM. Enak saja mereka menangis keras sementara orang tuanya membutuhkan suasana tenang. Dari situ mungkin kita akan mempunyai pemahaman tentang anak dan dunianya.

Memang untuk memahami anak, kita harus menjadi anak. Kita harus bergaul dengan mereka. Tentu dengan melepaskan sisi kedewasaan kita. Kita harus berani membuang embel-embel dewasa. Nggak nyambung rasanya jika kita harus bergaul dan berinteraksi dengan mereka tanpa membuang kedewasaan kita.

Biarkan mereka bicara dengan bahasanya yang sederhana. Biarkan mereka berbicara dengan gayanya yang cuek. Karena itulah mereka, apa adanya. Mungkin kita merasa jenuh jika anak mulai “mengigau” tentang kuda yang bisa terbang. Mungkin kita merasa bosan bila mereka bilang kalau mereka punya sepatu cinderela, atau apalah itu. Biarkan saja mereka “berkicau”. Biarkan saja. Saat-saat itulah waktu dimana mereka berkembang dengan imajinasi mereka, dan saat-saat seperti itulah waktu yang tepat bagi kita untuk memahami anak dan menyelami dunianya.

Membiarkan anak bercerita memberikan ia waktu untuk mengenal kita, begitu sebaliknya. Dari situ akan timbul pengertian dan komunikasi. Dengan membiarkan anak berbicara dan kita mendengar, berarti kita telah memahami mereka. Mencoba merasa apa yang mereka rasakan. Berikan sedikit pelukan dan usapan hangat. Atau paling tidak, tatapan mata yang teduh. Dari situ bukan saja timbul sikap pemahaman terhadap anak dari kita, namun pemahaman kedewasaan untuk si anak. Atau paling tidak kita tidak menambah satu lembar lagi lembaran buram dunia anak.

Published by Iis Kusaeri

English 4ever!

Leave a comment